Pesantren
merupakan salah satu pihak yang cukup masif dalam mendengungkan perdamaian.
Sebagai Lembaga Pendidikan berbasis agama. Pesantren menyerukan perdamaian
dan nilai-nilai kebangsaantentunya
tetap berpegang teguh pada teks-teks keagamaan. Langkah ini penting untuk
diapresiasi. Sebab gerakan-gerakan radikal yang baru-baru ini muncul kerap kali
berkaitan dengan kesalah fahaman beberapa orang atas berbagai teks keagamaan.
Salah satu
pesantren yang cukup massif menyerukan perdamaian melalui jalur literasi adalah
Pondok Pesantren Lirboyo. Pon. Pes. Lirboyo melalui himpunan alumninya
menerbitkan sebuah buku berjudul Fiqih
Kebangsaan 2, menebar kerahmatan Islam. Buku yang baru diterbitkan pada bulan Juni 2019 ini merupakan buku kedua
setelah buku dengan judul yang sama diterbitkan pada Januari 2018.
Buku ini diberi kata pengantar oleh tokoh nasional
diantaranya KH. Dimyati Rois, KH. Ahsin Sakho Muhammad dan KH. Anwar Mansur.
Buku setebal 177 halaman dengan cover lambang burung garuda dan diterbitkan
oleh Lirboyo Press ini, dilaunching pada tanggal 17 Juli 2019 bersamaan dengan
kedatangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. M. Mahfud MD, guna
memberikan kuliyah umum pada mahasantri tingkat Ma’had Aly Pon. Pes. Lirboyo.
Sekilas Tentang Buku Buku Fiqih Kebangsaan
Buku Fiqih
Kebangsaan 2, menebar kerahmatan Islam memuat
tiga bab penting terkait menumpas akar Gerakan radikalisme dan menanam benih
sikap perdamaian. Tiga bab tersebut bila dirangkum dapat disimpulkan mengulas
tentang tiga kalimat: Islam adalah rahmat, hal-hal yang disalah fahami tentang
Islam dan berbagai isu penting terkait hubungan agama dan negara.
Bab pertama mengulas secara Panjang lebar tentang term “rahmat” dalam Islam.
Ulasan ini dimulai dari teks al-Qur’an, tafsir ulama’ atas teks tersebut, kaitannya
dengan hadis serta bagaimana Nabi Muhammad mempraktekkan Islam sebagai rahmat
melalui relasi beliau bersama dengan masyarakat kafir Makkah. Bab kedua mengulas tiga poin penting yang sering disalah fahami dan menjadi
dasar Gerakan radikal. Yaitu tentang isu Islam adalah agama pedang, ayat-ayat
al-Qur’an yang mendorong sikap keras kepada non-muslim, dan tentang fakta
peperangan di zaman Nabi Muhammad salallahu alaihi wasallam. Bab ketiga mengulas banyak poin tentang relasi agama dan negara. Diantaranya
adalah agama sebagai ruh negara, tugas negara dalam melindungi agama, kewajiban
warga negara serta banyak poin penting tentang kesalahan praktek melindungi
agama serta dampak-dampaknya.
Diantara ulasan yang cukup menarik pada buku ini dan
tidak diketemukan dalam seri sebelumnya, adalah adanya dua bab yang menyinggung
secara khusus tentang prilaku bela agama. Menurut buku ini, prilaku bela agama
tidak bisa serta merta dibenarkan oleh agama. Sebab harus dilihat dulu apa
motivasi dari prilaku tersebut? Dan juga, ada beberapa hal penting yang harus
diawasi dalam prilaku bela agama. Seperti adanya faktor ketidak tepatan dalam
memahami ajaran agama, campur tangan berita hoaks, ambisi kekuasaan, kebencian
serta fanatisme buta. Faktor-faktor ini sedikit banyak akan mempengaruhi
pandangan Islam sendiri atas prilaku bela agama yang notabene ditunjukkan pada
Islam sendiri. (hlm. 110)
Sebagai upaya mengemukakan gagasan-gagasan kebangsaan
dalam fiqih, buku ini pun memuat secara detail tentang teks keagamaan yang
menjadi pondasi dari gagasan-gagasan yang dikemukakan. Teks keagamaan tersebut
meliputi al-Qur’an, hadis serta kitab-kitab ulama’. Baik ulama’ yang hidup
ratusan tahun lalu yang karyanya masih dipedomani, maupun ulama’ konteporer
yang mengulas secara kekinian hukum tata negara melalui kacamata Islam.
Memetik Pelajaran dari Buku Fiqih Kebangsaan
Membaca buku
ini kita akan diajak untuk mempelajari lebih dalam tentang tema kebangsaan
dalam kacamata fiqh. Lebih spesifik lagi, fiqh pesantren yang sebenarnya lebih
toleran dalam mengakomodir tradisi-tradisi di nusantara. Buku ini tidaklah
mendikte pembacanya dengan pemahaman kaum sarungan. Hal ini dibuktikan dengan
catatan kaki lengkap yang bisa dicek sumbernya secara mudah. Selain itu,
dibagian belakang juga dilampirkan teks referensi yang lazim di dunia pesantren
disebut sebagai ibarat. Sehingga
pembaca yang mengusai Bahasa arab dapat mengecek teks yang dijadikan dasar
secara langsung. Di bagian belakang juga dicantumkan bilbiografi. (hlm. 125)
Secara umum,
Buku Fiqih Kebangsaan 2, menebar kerahmatan Islam ini mengulas tentang kebangsaan dalam kacamata fiqh secara langsung
dalam poin-poin krusialnya. Tidak dipenuhi dengan berbagai retorika dalam
memahami kebangsaan dalam konteks fiqh. Buku ini mungkin kurang cocok bagi
pembaca yang mengharapkan suguhan narasi bergaya chiken soup yang sekarang
sedang trend, memberi informasi sekaligus memotivasi. Secara tidak langsung,
menurut penulis, buku ini disuguhkan bagi pembaca yang ingin mengetahui secara
rinci sekaligus kredibel bagaimana Fiqh dalam konteks Indonesia berbicara
tentang kebangsaan. Dan juga tidak sekedar mendikte seperti umumnya buku-buku
keislaman, tapi terbuka untuk didialogkan sebab keterbukaan dalam referensi.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar