“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (al Maaidah; 1)
Pancasila sebagai
Dasar Negara,adalah hasil rumusan melalui proses pemikiran yang panjang. Para
pendahulu bangsa, tentu sudah memikirkan secara matang tuangan lima sila dalam
Pancasila. Terutama dari sudut pandang agama masing-masing. Dari kelompok muslim,
ambillah contoh semisal KH. Hasyim Asy’ari, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH
Wahid Hasyim, KH Masykur Musa, KH Tolhah Mansur, Drs. Zamroni, Kdan H,
Abdurrahman Wahid, mereka semua tentu telah memikirkan keabsahan dasar Negara
ini dari sudut pandang agama.
Pancasila dalam
bernegara di tengah masyarakat yang majemuk didudukan sebagai dasar negara
sebagai produk perjanjian (akad). Salah satunya dasarnya adalah ayat al Maaidah
1 di atas. Sebagai orang yang beriman menaati dan mematuhi sebuah perjanjian
adalah kewajiban. Ketika perjanjian itu disepakati tidak ada ruang sedikitpun
untuk mengkhianati.
Sebagian ahli tafsir
memang menafsiri ayat tersebut pada soal kontrak jual beli. Namun sebagian yang
lain menafsiri ‘Uqud dengan perjanjian. Baik perjanjian
yang mencakup janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sesamanya. Karena dalam menafsiri ayat tidak boleh kaku
dengan hanya membaca sebab turunnya, namun harus melebar dengan cara memungut
ayat dan hadis yang mempunyai korelasi dengannya. Sehingga muatannya menjadi
meluas, tidak menyempit. Al ‘Ibrah bi ‘umum al Lafdi la bi Khusus al
Sabab.
Karena itu, perjanjian
atau kesepakatan yang telah direkomendasikan bersama tidak boleh diingkari atau
dirubah. Apalagi, tidak menyalahi atauran agama. Bentuknya bisa berupa piagam,
seperti piagam Madinah dan bisa berupa lambang, seperti pancasila. Soal bentuk
diserahkan kepada kecerdasan berpikir manusia.
Perjanjian
dalam Kaca Mata Tafsir
Dalam tafsir Ibnu
Katsir, ketika menafsiri ayat tersebut, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan beberapa
ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan aqad adalah perjanjian.” Ibnu
Jarir juga menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan:
“Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang
lainnya.”
Sementara Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu
‘Abbas: “Yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalalkan
dan diharamkan Allah, yang diwajibkan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam
al-Qur’an secara keseluruhan, maka janganlah kalian mengkhianati dan
melanggarnya.”
Kemudian Allah mempertegas hal itu lagi, Allah
berfirman yang artinya: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah
diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan
dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan
dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (ar-Ra’du: 25)
Dalam tafsir al Qurtubi Imam Hasan menjelaskan; yang
dimaksud adalah perjanjian yang mengikat seseorang. Baik dalam hal jual beli,
aturan rumah tangga, perjanjian damai dan lain-lain. Dengan catatan tidak
menyalahi aturan hukum Islam. Imam Zujaj menambahkan, bahwa yang dimaksud
adalah perjanjian seseorang dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.
Sementara menurut Abu Ja’far dalam Tafsir al Thabari
ialah ikrar pada keesaan Allah dan mengakui Nabi Muhammad sebagai Utusannya.
Yakni, penuhilah segala perjanjian yang telah dibuat oleh Allah berupa syariat
Islam secara sempurna dan perjanjian yang disepakati bersama antar manusia.
Perjanjian tersebut tidak boleh dirusak atau diingkari. Dan masih banyak lagi
ulama yang menafsiri kata úqud dengan makna perjanjian dalam kitab tafsir ini.
Musyaawarah Basis Perjanjian
Aturan main dalam Islam sebelum menentukan atau
memutuskan suatu perjanjian adalah dengan jalan musyawarah terlebih dahulu. Hal
inipun dilakukan oleh tokoh-tokoh bangsa sebelum tercetusnya pancasila.
Bermusyawarah dulu. Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
(tertentu.Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad,bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (al
Imran : 159).
Telah maklum bagi umat Islam, semua tindakan
Rasulullah saw yang dalam banyak hal selalu diawali dengan bermusyawarah
terlebih dahulu dengan para sahabatnya sebelum mengambil suatu keputusan. Hal
ini menunjukkan disyariatkannya musyawarah. Musyawarah atau Syura adalah
syariat Islam, sebab tujuan syura ialah untuk mendapatkan berbagai pandangan
kaum Muslimin dalam mencari kemaslahatan yang mungkin hanya diketahui oleh
sebagian orang.
Oleh karena hal itulah, maka apabila merasa mantap
dengan pendapat mereka atas dasar dalil-dalil dan hukum-hukum syariat maka ia
boleh mengambilnya. Dengan syarat, tidak boleh bertentangan dengan nash yang
terdapat di dalam al Quran, Sunnah, ijma‘ kaum Muslimin dan qiyas.
Perjanjian Hudaibiyah, misalnya, Rasulullah meminta
pandangan para sahabatnya, kemudian Abu Bakar pun mengemukakan pandangannya. Ia
berkata :“Rasul Allah, keluar hendak melaksanakan Thawaf di Ka‘bah,“ Siapa yang
menghalangi akan kita perangi.“ Pada mulanya Rasulullah saw menyetujui pendapat
Abu Bakar ini, kemudian bersama-sama para sahabatnya menuju ke Mekkah sampai
onta beliau mogok pertanda tidak boleh terus. Lalu Nabi saw meninggalkan
pendapat yang telah dikemukakan Abu Bakar ra seraya mengumumkan : „Demi Allah,
jika mereka meminta kepadaku suatu persyaratan, pasti akan aku kabulkan.“
Para Ulama menjadikan Perjanjian Hudaibiyah sebagai
dalil bolehya mengadakan perjanjian damai antara kaum Muslimin
dengan musuh mereka selama waktu tertentu, baik dengan ganti rugi yang diambil
oleh kaum Muslimin ataupun tidak. Sebab dalam perdamaian Hudaibiyah ini kaum
Muslimin tidak mendapatkan ganti rugi. Jika tanpa ganti rugi saja dibolehkan
maka apalagi dengan adanya ganti rugi yang diperoleh oleh kaum Muslimin.
Tetapi jika perdamaian itu mengharuskan kaum Muslimin
membayar harta maka menurut jumhur tidak diperbolehkan, karena hal itu
merendahkan martabat kaum Muslimin di hadapan musuh, di samping karena tidak
adanya dalil Quran dan Sunnah yang membolehkannya. Para Ulama berkat :“Kecuali
jika dalam keadaan sangat darurat dan tidak ada jalan lain, seperti
dikhawatirkan kaum Muslimin akan binasa atau jatuh menjadi tawanan.
Ada dua model perjanjian; sah dan bathil; Perjanjian
yang dibuat harus tidak bertentangan dengan nash Quran atau Sunnah Nabi-Nya.
Misalnya mensyaratkan agar pihak musuh membayar harta atau mensyaratkan kepada
pihak musuh agar mengembalikan orang-orang Muslim yang datang kepada mereka
atau menjamin keamannya. Para Imam menyepakati keabsahan syarat yang terakhir
ini kecuali Imam Syafi‘I yang mempersyaratkan harus ada keluarga yang
bersangkutan yang melindunginya di antara kaum Kafir. Sebab, menurut Imam
Syafi‘I Nabi saw menyetujui persyaratan Quraisy itu dengan catatan tersebut.
Sedangkan syarat yang bathil ialah setiap persyaratan
yang bertentangan dengan hukum syariat, misalnya mempersyaratkan pengembalian
wanita-wanita muslimat atau mahar-maharnya kepada musuh atau memberikan
sebagian senjata atau harta kaum Muslimin kepada mereka.
Pancasila, sebagai Dasar Negara adalah perjanjian
bersama untuk ditaati oleh semua rakyat Indonesia. Pancasila dirumuskan melalui
musyawarah antara umat Islam dengan umat lainnya untuk hidup berdampingan dalam
perdamaian. Sebagai sebuah perjanjian hidup damai, tidak ada nilai
Pancasila yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Karena itulah, tidak ada
alasan bagi umat saat ini untuk mengkhianati Pancasila sebagai perjanjian damai
di negeri tercinta.
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar