Harakatuna.com. Jakarta –
Islamic State in Irak and Syiria atau ISIS memiliki perjalanan yang begitu
panjang. Awal tahun 2014, di mana ISIS pertama kali didirikan sifatnya masih
temporal. Akan tetapi, sejak tahun 2015 sampai tahun 2017, ISIS kemudian
mengarah kepada hijrah, yakni dengan menetap di suatu Negara dan meninggalkan
Negara asalnya.
Pernyataan ini disampaikan oleh Satgas Foreign
Terrorist Fighter Densus 88 Mabes Polri AKBP Dr. (Cand) Didik Novi, S.I.K, M.H
pada Seminar bertajuk, “Nasib WNI Simpatisan ISIS di Suriah dan Irak” yang
diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Pascasarjana Kajian
Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI) di Gedung IASTH lt. 3, UI
Salemba, Jakarta, Rabu (10/7).
Didik menuturkan bahwa simpatisan ISIS dari Indonesia
memilih untuk menetap di berbagai Negara seperti Suriah dan Irak, mereka ingin
hidup dan mati di sana. “Sehingga segala kekayaan dan aset mereka yang ada di
Indonesia, mereka tinggalkan semua, mereka jual semua,” ungkap Didik.
Dalam seminar tersebut, Didik juga memperlihatkan
sebuah video yang berisi tentang bagaimana simpatisan ISIS dilatih untuk
berperang, berkelahi, menembak menggunakan senjata api. Dalam video tersebut
juga diperlihatkan bagaimana anak kecil usia SD didoktrin untuk menganggap
kafir semua penduduk Negara yang bukan Negara Islam. Mereka kemudian membakar
paspor-paspor mereka supaya bisa menetap dan berperang di sana.
Didik menuturkan, kenapa mereka bisa bertahan dan
ingin berperang di Negara tersebut membela Negara Islam yang dipercayainya
disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena mereka ‘menjual’ apa yang disebut
dengan ‘khilafah’ atau ‘daulah Islamiyah’. Kedua, perkembangan teknologi dan
media sosial yang begitu luar biasa.
Terakhir, lanjut Didik, pada tahun 2019 mereka
mengubah operasi ISIS sebagai loyalis global. Sehingga, pada tahun ini, di mana
hancurnya ISIS telah mengakibatkan gelombang besar, yakni kepulangan Foreign
Terrorist Fighter (FTF) atau eks kombatan ISIS ke Indonesia.
“Alhamdulillah dengan adanya UU terorisme yang baru,
sangat powerfull (mengatasi kelompok tersebut, red.),” terang Didik. Dia juga
berharap supaya semua pihak bisa siap untuk mengatasi berbagai masalah yang akan
ditimbulkan oleh WNI yang sebelumnya merupakan FTF tersebut.
“Membawa pulang FTF sama dengan membawa pulang segala
permasalahannya, oleh karena itu kita harus siap dengan segala cara untuk
menangani masalah tersebut,” pungkas AKBP Dr. (Cand) Didik Novi dalam seminar
tersebut.
Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI dan Badan
Hukum Indonesia Judha Nugraha yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu
menjelaskan bahwa pemulangan ke tanah air atau repatriasi mantan simpatisan
ISIS harus melihat dari berbagai aspek secara kompreshensif. Judha mengatakan
bahwa harus ada proses-proses yang ditempuh sebelum pemerintah melakukan
repatriasi. Salah satunya harus dilakukan rehabilitasi dan reintegrasi di dalam
masyarakat.
Judha mengatakan bahwa proses tersebut harus dilakukan
dengan berbagai cara. “Pertama proses verifikasi, karena banyak orang yang
bukan dari Indonesia, tapi sangat fasih berbicara dalam bahasa Indonesia,”
jelas Judha, yang juga menjadi pembicara dalam seminar tesebut.
Proses yang kedua, lanjut Judha, harus melihat dari
segi kewarganegaraan. Hilangnya status kewarganegaraan salah satunya adalah
bahwa ketika terdapat warga yang mengikuti dinas kenegaraan di Negara lain.
Sementara pembakaran paspor, lanjut Judha, tidak menghilangkan kewarganegaraan
seseorang.
Sementara proses selanjutnya adalah verifikasi
mengenai kesediaan mereka untuk kembali ke Indonesia. “Kita tanyakan apakah
mereka ingin kembali ke Indonesia, sebab (hal ini, red.) sudah ada dalam
konferensi WINA. Karena ada beberapa kasus mereka tidak ingin pulang,” terang
Judha.
Setelah pulang, lanjut Judha, mereka harus menjalani
berbagai proses hukum yang berlaku. Jika mereka terbukti melanggar
undang-undang yang ada di Indonesia, sudah ada proses yang diatur di dalam
hukum.
Untuk diketahui, seminar tersebut dihadiri pembicara
oleh Satgas Foreign Terrorist Fighter Densus 88 Mabes Polri AKBP Dr. (Cand)
Didik Novi , S.I.K, M.H, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia
Judha Nugraha, jurnalis Tempo Husein Abri Dongoran, dan Dosen Hubungan
Internasional FISIP Universitas Indonesia Ali Abdullah Wibisono, Ph.D.
Sementara itu, Dr. Muhammad Luthfi Zuhdi bertindak memberikan sambutan
pembukaan acara seminar.
#Muslimsejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar