Pada
tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1404 H, bertepatan dengan tanggal 21 desember 1083 M,
di Sukorejo digelar Musyawarah Nasional oleh ormas terbesar se Indonesia,
Nahdlatul Ulama. Berlangsung di Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo momen akbar
ini dihadiri oleh ulama dan cendikia seluruh Indonesia. Pentas musyawarah
paling bergengsi setelah Muktamar ini, sekaligus sarana silaturrahmi para
pemimpin dan tokoh agama dari kalangan Nahdlatul Ulama, menghasilkan piagam
fenomenal yang dikenang sampai detik ini.
Pondok
Pesantren yang berlokasi di kampung Sukorejo, Desa Banyu Putih, Kecamatan
Asembagus, Kabupaten Situbondo, menjadi saksi sejarah tercetusnya deklarasi
yang memberikan kontribusi besar terhadap keberlangsungan bangsa sampai saat
ini. Sebuah deklarasi yang mampu menjamin harmoni keberagaman dan keberagamaan
di bumi Nusantara dengan masyarakatnya yang multi agama, etnis, agama dan
budaya.
Di
antara ulama NU yang hadir dalam pertemuan bersejarah tersebut: KH Wahid Hasyim
dan KH Masykur Musa, KH Tolhah Mansur, Drs. Zamroni, KH, Abdurrahman Wahid dan
lain-lain. Musyawarah tingkat tinggi ini dipelopori oleh KH. As’ad Syamsul
Arifin dan KH. Ahmad Siddiq. Hasil Munas ini secara resmi disampaikan pada
forum Muktamar ke-27 di Situbondo setahun kemudian. Yakni, tahun 1984. Hal ini
sebagai penegasan komitmen politik NU terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia, NKRI. Komitmen ini sebagai pernyataan sikap bahwa Pancasila sebagai
dasar Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia adalah final. Kepedulian NU
terhadap bangsa sangatlah wajar, karena organisasi ini ikut terlibat langsung
dalam upaya merebut kemerdekaan.
Agenda
utama Munas NU ini adalah kembalinya orgnasisasi yang didirikan oleh KH Hasyim
Asy’ari tersebut kepada Khitthahnya. Terdiri dari tiga Sub Komisi Khitthah.
Khusus untuk Sub komisi Deklarasi dipimpin oleh KH. Abdurrahman Wahid.
Sementara dua Sub Komisi Khitthah lainnya masing-masing dipimpin oleh KH.
Tolhah Mansur dan Drs, Zamroni.
Rapat
siding komisi perumusan deklarasi ini berlangsung sangat singkat. Pimpinan
rapat, sebagaiman lazimnya tradisi NU, membuka sidang dengan membaca surat al
Fatihah. Selanjutnya KH. Abdurrahman Wahid yang akrab di panggil Gus Dur,Almarhum, mengusulkan
supaya yang hadir menyampaikan ide masing-masing. Usul pimpinan diterima, lalu
secara bergiliran anggota Sub Komisi Khitthah ini menyampaikan ide dan
pemikirannya. Dimulai oleh dr. Muhammad dari Surabaya, KH. Mukaffi Makki dari
Madura, KH. Prof. Hasan dari Sumatera, KH. Zarqawi dari Situbondo dan KH. Ahmad
Mustofa Bisri dari Rembang.
Setelah
semua anggota selesai memaparkan ide yang terkait dengan Pancasila, pimpinan
sidang membaca catatannya. Beliaupun lalu merumuskan lima item yang kemudian
disetujui oleh semua anggota. Rapat komisipun selesai.
Selain
anggota resmi Sub Komisi Deklarasi, ternyata hadir juga Kiai Kun Solahuddin
yang secara khusus diutus oleh KH. As’ad Syamsul Arifin untuk mengamati
jalannya sidang. Beliau melaporkan hasil rapat yang extra cepat tersebut
beserta hasil keputusannya kepada KH. As’ad. Ternyata ada satu redaksi yang
tidak disetujui oleh pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
ini. Kiai Kun Sholahuddin kembali lagi untuk bertemu dengan anggota komisi
pimpinan Gus Dur menyampaikan ihwal tersebut. Lalu, KH. Musthafa Bisri
menghadap KH. As’ad sebagai wakil Sub Komisi Deklarasi untuk merundingkan
permasalahan redaksi tersebut. Selang tidak berapa lama, kesepakatan pun
tercapai. Hasilnya adalah deklarasi berikut:
Bismillahirrahmanirrahim
2. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan
tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul
Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan
Allah dan hubungan antarmanusia.
4. Penerimaan dan
pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk
menjalankan syari’at agamanya.
5. Sebagai
konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak.
Musyawarah Nasional Alim
Ulama Nahdhatul Ulama
Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H
(21 Desember 1983)
Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H
(21 Desember 1983)
Sumber:
Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011.
Inilah
sumbangsih besar NU terhadap bangsa Indonesia. Sebuah piagam kebangsaan yang
menaungi seluruh masyarakat tanpa memandang latar belakang agama, suku, etnis
dan golongan. Kemerdekaan bukan hak segolongan, namun menjadi hak semua rakyat.
Pancasila sedikitpun tidak bertentangan dengan ruh agama Islam.
Dalam
kondisi bangsa ini yang mudah tersulut dengan isu pertentangan Pancasila dengan
Islam atau gagasan yang ingin menghendaki NKRI bersyariah, semestinya kita
menyadari gagasan brilian para ulama yang telah meletakkan Pancasila selaras
dengan Islam.
Para
ulama teladan bangsa telah mencipta suatu rumusan dasar Negara dengan spirit
Islam yang Rahmatan lil ‘alamin. Inilah sebuah penjelmaan
praktik berIslam yang Kaffah ala Rasulullah dengan Piagam Madinahnya.
Wallahu
A’lam.
*M.
Sada’i.
#muslimsejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar