Latest Posts

Kamis, 22 Agustus 2019

Pancasila sebagai Perjanjian

Tidak ada komentar:


Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (al Maaidah; 1)

Pancasila sebagai Dasar Negara,adalah hasil rumusan melalui proses pemikiran yang panjang. Para pendahulu bangsa, tentu sudah memikirkan secara matang tuangan lima sila dalam Pancasila. Terutama dari sudut pandang agama masing-masing. Dari kelompok muslim, ambillah contoh semisal KH. Hasyim Asy’ari, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim, KH Masykur Musa, KH Tolhah Mansur, Drs. Zamroni, Kdan H, Abdurrahman Wahid, mereka semua tentu telah memikirkan keabsahan dasar Negara ini dari sudut pandang agama.
Pancasila dalam bernegara di tengah masyarakat yang majemuk didudukan sebagai dasar negara sebagai produk perjanjian (akad). Salah satunya dasarnya adalah ayat al Maaidah 1 di atas. Sebagai orang yang beriman menaati dan mematuhi sebuah perjanjian adalah kewajiban. Ketika perjanjian itu disepakati tidak ada ruang sedikitpun untuk mengkhianati.
Sebagian ahli tafsir memang menafsiri ayat tersebut pada soal kontrak jual beli. Namun sebagian yang lain menafsiri ‘Uqud dengan perjanjian. Baik perjanjian yang mencakup janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Karena dalam menafsiri ayat tidak boleh kaku dengan hanya membaca sebab turunnya, namun harus melebar dengan cara memungut ayat dan hadis yang mempunyai korelasi dengannya. Sehingga muatannya menjadi meluas, tidak menyempit. Al ‘Ibrah bi ‘umum al Lafdi la bi Khusus al Sabab.
Karena itu, perjanjian atau kesepakatan yang telah direkomendasikan bersama tidak boleh diingkari atau dirubah. Apalagi, tidak menyalahi atauran agama. Bentuknya bisa berupa piagam, seperti piagam Madinah dan bisa berupa lambang, seperti pancasila. Soal bentuk diserahkan kepada kecerdasan berpikir manusia.
Perjanjian dalam Kaca Mata Tafsir
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ketika menafsiri ayat tersebut, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan aqad adalah perjanjian.” Ibnu Jarir juga menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan: “Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.”
Sementara Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: “Yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalalkan dan diharamkan Allah, yang diwajibkan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam al-Qur’an secara keseluruhan, maka janganlah kalian mengkhianati dan melanggarnya.”
Kemudian Allah mempertegas hal itu lagi, Allah berfirman yang artinya: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (ar-Ra’du: 25)
Dalam tafsir al Qurtubi Imam Hasan menjelaskan; yang dimaksud adalah perjanjian yang mengikat seseorang. Baik dalam hal jual beli, aturan rumah tangga, perjanjian damai dan lain-lain. Dengan catatan tidak menyalahi aturan hukum Islam. Imam Zujaj menambahkan, bahwa yang dimaksud adalah perjanjian seseorang dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.
Sementara menurut Abu Ja’far dalam Tafsir al Thabari ialah ikrar pada keesaan Allah dan mengakui Nabi Muhammad sebagai Utusannya. Yakni, penuhilah segala perjanjian yang telah dibuat oleh Allah berupa syariat Islam secara sempurna dan perjanjian yang disepakati bersama antar manusia. Perjanjian tersebut tidak boleh dirusak atau diingkari. Dan masih banyak lagi ulama yang menafsiri kata úqud dengan makna perjanjian dalam kitab tafsir ini.
Musyaawarah Basis Perjanjian
Aturan main dalam Islam sebelum menentukan atau memutuskan suatu perjanjian adalah dengan jalan musyawarah terlebih dahulu. Hal inipun dilakukan oleh tokoh-tokoh bangsa sebelum tercetusnya pancasila. Bermusyawarah dulu. Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu.Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad,bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (al Imran : 159).
Telah maklum bagi umat Islam, semua tindakan Rasulullah saw yang dalam banyak hal selalu diawali dengan bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabatnya sebelum mengambil suatu keputusan. Hal ini menunjukkan disyariatkannya musyawarah. Musyawarah atau Syura adalah syariat Islam, sebab tujuan syura ialah untuk mendapatkan berbagai pandangan kaum Muslimin dalam mencari kemaslahatan yang mungkin hanya diketahui oleh sebagian orang.
Oleh karena hal itulah, maka apabila merasa mantap dengan pendapat mereka atas dasar dalil-dalil dan hukum-hukum syariat maka ia boleh mengambilnya. Dengan syarat, tidak boleh bertentangan dengan nash yang terdapat di dalam al Quran, Sunnah, ijma‘ kaum Muslimin dan qiyas.
Perjanjian Hudaibiyah, misalnya, Rasulullah meminta pandangan para sahabatnya, kemudian Abu Bakar pun mengemukakan pandangannya. Ia berkata :“Rasul Allah, keluar hendak melaksanakan Thawaf di Ka‘bah,“ Siapa yang menghalangi akan kita perangi.“ Pada mulanya Rasulullah saw menyetujui pendapat Abu Bakar ini, kemudian bersama-sama para sahabatnya menuju ke Mekkah sampai onta beliau mogok pertanda tidak boleh terus. Lalu Nabi saw meninggalkan pendapat yang telah dikemukakan Abu Bakar ra seraya mengumumkan : „Demi Allah, jika mereka meminta kepadaku suatu persyaratan, pasti akan aku kabulkan.“
Para Ulama menjadikan Perjanjian Hudaibiyah sebagai dalil  bolehya mengadakan perjanjian damai antara kaum Muslimin dengan musuh mereka selama waktu tertentu, baik dengan ganti rugi yang diambil oleh kaum Muslimin ataupun tidak. Sebab dalam perdamaian Hudaibiyah ini kaum Muslimin tidak mendapatkan ganti rugi. Jika tanpa ganti rugi saja dibolehkan maka apalagi dengan adanya ganti rugi yang diperoleh oleh kaum Muslimin.
Tetapi jika perdamaian itu mengharuskan kaum Muslimin membayar harta maka menurut jumhur tidak diperbolehkan, karena hal itu merendahkan martabat kaum Muslimin di hadapan musuh, di samping karena tidak adanya dalil Quran dan Sunnah yang membolehkannya. Para Ulama berkat :“Kecuali jika dalam keadaan sangat darurat dan tidak ada jalan lain, seperti dikhawatirkan kaum Muslimin akan binasa atau jatuh menjadi tawanan.
Ada dua model perjanjian; sah dan bathil; Perjanjian yang dibuat harus tidak bertentangan dengan nash Quran atau Sunnah Nabi-Nya. Misalnya mensyaratkan agar pihak musuh membayar harta atau mensyaratkan kepada pihak musuh agar mengembalikan orang-orang Muslim yang datang kepada mereka atau menjamin keamannya. Para Imam menyepakati keabsahan syarat yang terakhir ini kecuali Imam Syafi‘I yang mempersyaratkan harus ada keluarga yang bersangkutan yang melindunginya di antara kaum Kafir. Sebab, menurut Imam Syafi‘I Nabi saw menyetujui persyaratan Quraisy itu dengan catatan tersebut.
Sedangkan syarat yang bathil ialah setiap persyaratan yang bertentangan dengan hukum syariat, misalnya mempersyaratkan pengembalian wanita-wanita muslimat atau mahar-maharnya kepada musuh atau memberikan sebagian senjata atau harta kaum Muslimin kepada mereka.
Pancasila, sebagai Dasar Negara adalah perjanjian bersama untuk ditaati oleh semua rakyat Indonesia. Pancasila dirumuskan melalui musyawarah antara umat Islam dengan umat lainnya untuk hidup berdampingan dalam perdamaian.  Sebagai sebuah perjanjian hidup damai, tidak ada nilai Pancasila yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Karena itulah, tidak ada alasan bagi umat saat ini untuk mengkhianati Pancasila sebagai perjanjian damai di negeri tercinta.
Wallahu A’lam

#muslimsejati
Continue Reading...

Selasa, 20 Agustus 2019

Deklarasi Hubungan Islam-Pancasila: Sumbangan Besar NU untuk Indonesia

Tidak ada komentar:

Pada tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1404 H, bertepatan dengan tanggal 21 desember 1083 M, di Sukorejo digelar Musyawarah Nasional oleh ormas terbesar se Indonesia, Nahdlatul Ulama. Berlangsung di Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo momen akbar ini dihadiri oleh ulama dan cendikia seluruh Indonesia. Pentas musyawarah paling bergengsi setelah Muktamar ini, sekaligus sarana silaturrahmi para pemimpin dan tokoh agama dari kalangan Nahdlatul Ulama, menghasilkan piagam fenomenal yang dikenang sampai detik ini.
Pondok Pesantren yang berlokasi di kampung Sukorejo, Desa Banyu Putih, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, menjadi saksi sejarah tercetusnya deklarasi yang memberikan kontribusi besar terhadap keberlangsungan bangsa sampai saat ini. Sebuah deklarasi yang mampu menjamin harmoni keberagaman dan keberagamaan di bumi Nusantara dengan masyarakatnya yang multi agama, etnis, agama dan budaya.
Di antara ulama NU yang hadir dalam pertemuan bersejarah tersebut: KH Wahid Hasyim dan KH Masykur Musa, KH Tolhah Mansur, Drs. Zamroni, KH, Abdurrahman Wahid dan lain-lain. Musyawarah tingkat tinggi ini dipelopori oleh KH. As’ad Syamsul Arifin dan KH. Ahmad Siddiq. Hasil Munas ini secara resmi disampaikan pada forum Muktamar ke-27 di Situbondo setahun kemudian. Yakni, tahun 1984. Hal ini sebagai penegasan komitmen politik NU terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI. Komitmen ini sebagai pernyataan sikap bahwa Pancasila sebagai dasar Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia adalah final. Kepedulian NU terhadap bangsa sangatlah wajar, karena organisasi ini ikut terlibat langsung dalam upaya merebut kemerdekaan.
Agenda utama Munas NU ini adalah kembalinya orgnasisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari tersebut kepada Khitthahnya. Terdiri dari tiga Sub Komisi Khitthah. Khusus untuk Sub komisi Deklarasi dipimpin oleh KH. Abdurrahman Wahid. Sementara dua Sub Komisi Khitthah lainnya masing-masing dipimpin oleh KH. Tolhah Mansur dan Drs, Zamroni.
Rapat siding komisi perumusan deklarasi ini berlangsung sangat singkat. Pimpinan rapat, sebagaiman lazimnya tradisi NU, membuka sidang dengan membaca surat al Fatihah. Selanjutnya KH. Abdurrahman Wahid yang akrab di panggil Gus Dur,Almarhum, mengusulkan supaya yang hadir menyampaikan ide masing-masing. Usul pimpinan diterima, lalu secara bergiliran anggota Sub Komisi Khitthah ini menyampaikan ide dan pemikirannya. Dimulai oleh dr. Muhammad dari Surabaya, KH. Mukaffi Makki dari Madura, KH. Prof. Hasan dari Sumatera, KH. Zarqawi dari Situbondo dan KH. Ahmad Mustofa Bisri dari Rembang.
Setelah semua anggota selesai memaparkan ide yang terkait dengan Pancasila, pimpinan sidang membaca catatannya. Beliaupun lalu merumuskan lima item yang kemudian disetujui oleh semua anggota. Rapat komisipun selesai.
Selain anggota resmi Sub Komisi Deklarasi, ternyata hadir juga Kiai Kun Solahuddin yang secara khusus diutus oleh KH. As’ad Syamsul Arifin untuk mengamati jalannya sidang. Beliau melaporkan hasil rapat yang extra cepat tersebut beserta hasil keputusannya kepada KH. As’ad. Ternyata ada satu redaksi yang tidak disetujui oleh pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo ini. Kiai Kun Sholahuddin kembali lagi untuk bertemu dengan anggota komisi pimpinan Gus Dur menyampaikan ihwal tersebut. Lalu, KH. Musthafa Bisri menghadap KH. As’ad sebagai wakil Sub Komisi Deklarasi untuk merundingkan permasalahan redaksi tersebut. Selang tidak berapa lama, kesepakatan pun tercapai. Hasilnya adalah deklarasi berikut:
Bismillahirrahmanirrahim
2.  Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3.  Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
4.  Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
5.  Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama
Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H
(21 Desember 1983)
Sumber: Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011.
Inilah sumbangsih besar NU terhadap bangsa Indonesia. Sebuah piagam kebangsaan yang menaungi seluruh masyarakat tanpa memandang latar belakang agama, suku, etnis dan golongan. Kemerdekaan bukan hak segolongan, namun menjadi hak semua rakyat. Pancasila sedikitpun tidak bertentangan dengan ruh agama Islam.
Dalam kondisi bangsa ini yang mudah tersulut dengan isu pertentangan Pancasila dengan Islam atau gagasan yang ingin menghendaki NKRI bersyariah, semestinya kita menyadari gagasan brilian para ulama yang telah meletakkan Pancasila selaras dengan Islam.
Para ulama teladan bangsa telah mencipta suatu rumusan dasar Negara dengan spirit Islam yang Rahmatan lil ‘alamin. Inilah sebuah penjelmaan praktik berIslam yang Kaffah ala Rasulullah dengan Piagam Madinahnya.
Wallahu A’lam.
*M. Sada’i.
#muslimsejati

Continue Reading...

Minggu, 18 Agustus 2019

Tepis Pandangan Kelompok Radikal, Alwi Shihab: Pancasila Sangat Islami

Tidak ada komentar:
Jakarta – Mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab menepis pandangan kelompok radikal yang selalu memaksakan pandangan ke masyarakat bahwa Pancasila anti-Islam. Dengan tegas ia mengatakan bahwa Pancasila itu sudah sangat islami.
“Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Pancasila sudah sangat islami. Pandangan radikal yang anggap pancasila anti-Islam itu jelas tidak benar,” ujar Alwi Shihab di Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Penegasan itu disampaikan Alwi Shihab pada focus group discussion (FGD) bertema ‘Scenario Planning: Indonesia‘ yang diselenggarakan Gerakan Suluh Kebangsaan. FGD ini membahas perlawanan dan gerakan melawan radikalisme yang akhir-akhir ini semakin kentara.

Alwi mengungkapkan, Pancasila bagian dari ajaran-ajaran kebaikan yang ada dalam semua Agama. Salah satunya adalah Islam. Dia menyayangkan kelompok tertentu yang berpendapat bahwa Pancasila mengandung pemahaman anti agama.
“Kelompok radikal memang berusaha untuk memaksakan pandangannya kepada masyarakat. Dengan cara mengedepankan Islam, dan menyatakan seakan-akan Pancasila ini tidak Islami,” tukas adik kandung cendekiawan muslim Quraish Shihab ini.
FGD ini dihadiri beberapa tokoh nasional, seperti Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) Prof. Mahfud MD, Sekjen GSK Putri Presiden keempat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Alissa Wahid, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng yang juga adik kandung Gus Dur KH. Salahuddin Wahid, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Komarudin Hidayat, Guru Besar sekaligus Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Amin Abdullah dan Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, dan Kepala BNPT SUhardi Alius.
Untuk mereduksi paham yang salah tersebut, menurut Alwi, masyarakat harus mendapat pembelajaran langsung, baik dari tokoh agama dalam negeri maupun luar negeri. Tokoh agama memiliki peran penting dalam penyuluhan makna Pancasila yang sebenarnya.
“Kami akan mengusulkan supaya tokoh-tokoh Islam dari dunia arab, yang moderat, bisa juga menyampiakan pada masyarakat Indonesia. Karena kelompok radikal ini selalu mengacu pada tokoh-tokoh di negeri Arab,” tandasnya.
#muslimsejati

Continue Reading...

Sabtu, 17 Agustus 2019

Fikih Kebangsaan Merajut Perdamaian

Tidak ada komentar:


Pesantren merupakan salah satu pihak yang cukup masif dalam mendengungkan perdamaian. Sebagai Lembaga Pendidikan berbasis agama. Pesantren menyerukan perdamaian dan nilai-nilai kebangsaantentunya tetap berpegang teguh pada teks-teks keagamaan. Langkah ini penting untuk diapresiasi. Sebab gerakan-gerakan radikal yang baru-baru ini muncul kerap kali berkaitan dengan kesalah fahaman beberapa orang atas berbagai teks keagamaan.

Salah satu pesantren yang cukup massif menyerukan perdamaian melalui jalur literasi adalah Pondok Pesantren Lirboyo. Pon. Pes. Lirboyo melalui himpunan alumninya menerbitkan sebuah buku berjudul Fiqih Kebangsaan 2, menebar kerahmatan Islam. Buku yang baru diterbitkan pada bulan Juni 2019 ini merupakan buku kedua setelah buku dengan judul yang sama diterbitkan pada Januari 2018.
Buku ini diberi kata pengantar oleh tokoh nasional diantaranya KH. Dimyati Rois, KH. Ahsin Sakho Muhammad dan KH. Anwar Mansur. Buku setebal 177 halaman dengan cover lambang burung garuda dan diterbitkan oleh Lirboyo Press ini, dilaunching pada tanggal 17 Juli 2019 bersamaan dengan kedatangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. M. Mahfud MD, guna memberikan kuliyah umum pada mahasantri tingkat Ma’had Aly Pon. Pes. Lirboyo.
Sekilas Tentang Buku Buku Fiqih Kebangsaan
Buku Fiqih Kebangsaan 2, menebar kerahmatan Islam memuat tiga bab penting terkait menumpas akar Gerakan radikalisme dan menanam benih sikap perdamaian. Tiga bab tersebut bila dirangkum dapat disimpulkan mengulas tentang tiga kalimat: Islam adalah rahmat, hal-hal yang disalah fahami tentang Islam dan berbagai isu penting terkait hubungan agama dan negara.
Bab pertama mengulas secara Panjang lebar tentang term “rahmat” dalam Islam. Ulasan ini dimulai dari teks al-Qur’an, tafsir ulama’ atas teks tersebut, kaitannya dengan hadis serta bagaimana Nabi Muhammad mempraktekkan Islam sebagai rahmat melalui relasi beliau bersama dengan masyarakat kafir Makkah. Bab kedua mengulas tiga poin penting yang sering disalah fahami dan menjadi dasar Gerakan radikal. Yaitu tentang isu Islam adalah agama pedang, ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong sikap keras kepada non-muslim, dan tentang fakta peperangan di zaman Nabi Muhammad salallahu alaihi wasallam. Bab ketiga mengulas banyak poin tentang relasi agama dan negara. Diantaranya adalah agama sebagai ruh negara, tugas negara dalam melindungi agama, kewajiban warga negara serta banyak poin penting tentang kesalahan praktek melindungi agama serta dampak-dampaknya.
Diantara ulasan yang cukup menarik pada buku ini dan tidak diketemukan dalam seri sebelumnya, adalah adanya dua bab yang menyinggung secara khusus tentang prilaku bela agama. Menurut buku ini, prilaku bela agama tidak bisa serta merta dibenarkan oleh agama. Sebab harus dilihat dulu apa motivasi dari prilaku tersebut? Dan juga, ada beberapa hal penting yang harus diawasi dalam prilaku bela agama. Seperti adanya faktor ketidak tepatan dalam memahami ajaran agama, campur tangan berita hoaks, ambisi kekuasaan, kebencian serta fanatisme buta. Faktor-faktor ini sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan Islam sendiri atas prilaku bela agama yang notabene ditunjukkan pada Islam sendiri. (hlm. 110)
Sebagai upaya mengemukakan gagasan-gagasan kebangsaan dalam fiqih, buku ini pun memuat secara detail tentang teks keagamaan yang menjadi pondasi dari gagasan-gagasan yang dikemukakan. Teks keagamaan tersebut meliputi al-Qur’an, hadis serta kitab-kitab ulama’. Baik ulama’ yang hidup ratusan tahun lalu yang karyanya masih dipedomani, maupun ulama’ konteporer yang mengulas secara kekinian hukum tata negara melalui kacamata Islam.
Memetik Pelajaran dari Buku Fiqih Kebangsaan
Membaca buku ini kita akan diajak untuk mempelajari lebih dalam tentang tema kebangsaan dalam kacamata fiqh. Lebih spesifik lagi, fiqh pesantren yang sebenarnya lebih toleran dalam mengakomodir tradisi-tradisi di nusantara. Buku ini tidaklah mendikte pembacanya dengan pemahaman kaum sarungan. Hal ini dibuktikan dengan catatan kaki lengkap yang bisa dicek sumbernya secara mudah. Selain itu, dibagian belakang juga dilampirkan teks referensi yang lazim di dunia pesantren disebut sebagai ibarat. Sehingga pembaca yang mengusai Bahasa arab dapat mengecek teks yang dijadikan dasar secara langsung. Di bagian belakang juga dicantumkan bilbiografi. (hlm. 125)

Secara umum, Buku Fiqih Kebangsaan 2, menebar kerahmatan Islam ini mengulas tentang kebangsaan dalam kacamata fiqh secara langsung dalam poin-poin krusialnya. Tidak dipenuhi dengan berbagai retorika dalam memahami kebangsaan dalam konteks fiqh. Buku ini mungkin kurang cocok bagi pembaca yang mengharapkan suguhan narasi bergaya chiken soup yang sekarang sedang trend, memberi informasi sekaligus memotivasi. Secara tidak langsung, menurut penulis, buku ini disuguhkan bagi pembaca yang ingin mengetahui secara rinci sekaligus kredibel bagaimana Fiqh dalam konteks Indonesia berbicara tentang kebangsaan. Dan juga tidak sekedar mendikte seperti umumnya buku-buku keislaman, tapi terbuka untuk didialogkan sebab keterbukaan dalam referensi. Sekian.

#Muslimsejati
Continue Reading...

Kamis, 11 Juli 2019

Harus Siap, Repatriasi WNI Mantan ISIS Bisa Bawa Masalah Baru

Tidak ada komentar:


Harakatuna.com. Jakarta – Islamic State in Irak and Syiria atau ISIS memiliki perjalanan yang begitu panjang. Awal tahun 2014, di mana ISIS pertama kali didirikan sifatnya masih temporal. Akan tetapi, sejak tahun 2015 sampai tahun 2017, ISIS kemudian mengarah kepada hijrah, yakni dengan menetap di suatu Negara dan meninggalkan Negara asalnya.
Pernyataan ini disampaikan oleh Satgas Foreign Terrorist Fighter Densus 88 Mabes Polri AKBP Dr. (Cand) Didik Novi, S.I.K, M.H pada Seminar bertajuk, “Nasib WNI Simpatisan ISIS di Suriah dan Irak” yang diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Pascasarjana Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI) di Gedung IASTH lt. 3, UI Salemba, Jakarta, Rabu (10/7).
Didik menuturkan bahwa simpatisan ISIS dari Indonesia memilih untuk menetap di berbagai Negara seperti Suriah dan Irak, mereka ingin hidup dan mati di sana. “Sehingga segala kekayaan dan aset mereka yang ada di Indonesia, mereka tinggalkan semua, mereka jual semua,” ungkap Didik.
Dalam seminar tersebut, Didik juga memperlihatkan sebuah video yang berisi tentang bagaimana simpatisan ISIS dilatih untuk berperang, berkelahi, menembak menggunakan senjata api. Dalam video tersebut juga diperlihatkan bagaimana anak kecil usia SD didoktrin untuk menganggap kafir semua penduduk Negara yang bukan Negara Islam. Mereka kemudian membakar paspor-paspor mereka supaya bisa menetap dan berperang di sana.
Didik menuturkan, kenapa mereka bisa bertahan dan ingin berperang di Negara tersebut membela Negara Islam yang dipercayainya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena mereka ‘menjual’ apa yang disebut dengan ‘khilafah’ atau ‘daulah Islamiyah’. Kedua, perkembangan teknologi dan media sosial yang begitu luar biasa.
Terakhir, lanjut Didik, pada tahun 2019 mereka mengubah operasi ISIS sebagai loyalis global. Sehingga, pada tahun ini, di mana hancurnya ISIS telah mengakibatkan gelombang besar, yakni kepulangan Foreign Terrorist Fighter (FTF) atau eks kombatan ISIS ke Indonesia.
“Alhamdulillah dengan adanya UU terorisme yang baru, sangat powerfull (mengatasi kelompok tersebut, red.),” terang Didik. Dia juga berharap supaya semua pihak bisa siap untuk mengatasi berbagai masalah yang akan ditimbulkan oleh WNI yang sebelumnya merupakan FTF tersebut.
“Membawa pulang FTF sama dengan membawa pulang segala permasalahannya, oleh karena itu kita harus siap dengan segala cara untuk menangani masalah tersebut,” pungkas AKBP Dr. (Cand) Didik Novi dalam seminar tersebut.
Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Judha Nugraha yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu menjelaskan bahwa pemulangan ke tanah air atau repatriasi mantan simpatisan ISIS harus melihat dari berbagai aspek secara kompreshensif. Judha mengatakan bahwa harus ada proses-proses yang ditempuh sebelum pemerintah melakukan repatriasi. Salah satunya harus dilakukan rehabilitasi dan reintegrasi di dalam masyarakat.
Judha mengatakan bahwa proses tersebut harus dilakukan dengan berbagai cara. “Pertama proses verifikasi, karena banyak orang yang bukan dari Indonesia, tapi sangat fasih berbicara dalam bahasa Indonesia,” jelas Judha, yang juga menjadi pembicara dalam seminar tesebut.
Proses yang kedua, lanjut Judha, harus melihat dari segi kewarganegaraan. Hilangnya status kewarganegaraan salah satunya adalah bahwa ketika terdapat warga yang mengikuti dinas kenegaraan di Negara lain. Sementara pembakaran paspor, lanjut Judha, tidak menghilangkan kewarganegaraan seseorang.
Sementara proses selanjutnya adalah verifikasi mengenai kesediaan mereka untuk kembali ke Indonesia. “Kita tanyakan apakah mereka ingin kembali ke Indonesia, sebab (hal ini, red.) sudah ada dalam konferensi WINA. Karena ada beberapa kasus mereka tidak ingin pulang,” terang Judha.
Setelah pulang, lanjut Judha, mereka harus menjalani berbagai proses hukum yang berlaku. Jika mereka terbukti melanggar undang-undang yang ada di Indonesia, sudah ada proses yang diatur di dalam hukum.
Untuk diketahui, seminar tersebut dihadiri pembicara oleh Satgas Foreign Terrorist Fighter Densus 88 Mabes Polri AKBP Dr. (Cand) Didik Novi , S.I.K, M.H, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Judha Nugraha, jurnalis Tempo Husein Abri Dongoran, dan Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Ali Abdullah Wibisono, Ph.D. Sementara itu, Dr. Muhammad Luthfi Zuhdi bertindak memberikan sambutan pembukaan acara seminar.
#Muslimsejati

Continue Reading...

Rabu, 10 Juli 2019

Menanamkan Nilai Toleransi di Tingkat Kanak-kanak

Tidak ada komentar:


Indonesia adalah negara yang memiliki beragam suku, budaya, dan keyakinan beragama. Sebagai wilayah yang multikultural ini, perbedaan adalah hal mutlak yang tidak bisa dipisahkan. Di antara komponen keberagaman itu adalah agama. Badan Pusat Statistik merilis, penduduk Indonesia yang beragama Islam berada pada angka 87%, sedangkan sisanya adalah Kristen Protestan, Khatolik, Hindu, serta Khonghucu. Belum ditambah agama-agama lokal yang masih ajeg dianut oleh sebagian masyarakat kita. Statistik ini mendorong terjadinya dikotomi kelompok minoritas dan mayoritas. Serta menjadi rentan terhadap konflik identitas agama. Karenanya setiap warga negara perlu diingatkan tentang hikmah perbedaan ini, bahkan sejak usia dini. Agar ketika dewasa, potensi untuk melakukan tindakan rasisme yang mengantarkan kepada keretakan kita sebagai Bangsa bisa dihilangkan. Harmonitas antar pemeluk agama dapat terus terjaga dengan baik.

Penanaman nilai toleransi sejak dini bisa kita lihat pada penelitian Jumiatmoko di TK Negeri Pembina Karangmalang Sragen, Jawa Tengah. Pada TK ini, diterapkan pengayaan nilai-nilai keberagaman toleransi. Dalam materi sekolah tersebut juga ditekankan untuk melepaskan sekat-sekat beragama, meskipun di dalamnya terdapat peserta didik dengan latar belakang agama yang berbeda. Meskipun melepaskan sekat agama, materi keagamaan tetap menjadi prioritas bagi peserta didiknya. 

Penelitian yang bekerjasama dengan Diktis Pendis Kemenag ini juga menyebut bahwa nilai-nilai toleransi beragama bisa dilakukan kepada anak-anak dengan cara yang mudah. Sekurang-kurangnya terdapat empat komponen penting bagi institusi atau lembaga yang ingin melakukan hal serupa. Empat hal itu adalah Pola Pembiasaan, Kurikulum, Peran Guru, dan Peran Orang Tua.

Pertama, Pola Pembiasaan. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengayaan atau pembiasaan yang dilaksanakan dengan tujuan utama memberikan pengetahuan dan penanaman sikap spiritual sesuai dengan agamanya masing-masing. Tiap anak diberikan waktu khusus untuk mendalami tata cara agamanya dengan melafalkan dua kalimat syahadat beserta terjemahnya, menghafal doa-doa harian, dan menghafal hadits-hadits pilihan. Sedangkan bagi anak Non-Muslim, kegiatan dilaksanakan dalam bentuk doa bersama, bernyanyi, maupun kegiatan bermain lainnya, biasanya yang dilaksanakan adalah mewarnai gambar dengan tema- tema keagamaan. Keduanya dilakukan di ruangan yang berbeda.

Situasi ini menjadikan anak-anak setiap pagi, mulai hari Senin hingga Sabtu terlatih dan terbiasa mengetahui, memahami, dan menjalani pengalaman untuk bertoleransi dalam melaksanakan tata cara ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Selain kegiatan ritus di atas, di dalam kelas, anak-anak diberikan waktu pula untuk mengenal perbedaan lainnya. Terdapat kegiatan makan dan doa bersama, di mana setiap anak secara bergiliran diberikan kesempatan untuk memimpin doa sebelum dan sesudah makan, dan doa bersama dengan kepercayaannya masing-masing. Setiap anak diminta untuk diam dan mendengarkan ketika ada anak lainnya yang berdoa sesuai dengan ajarannya.

Kedua, Kurikulum. Secara keseluruhan, komposisi jadwal pembelajaran TK Negeri Pembina Karangmalang mengandung muatan toleransi beragama sebanyak 43,99%. Penelitian menyimpulkan bahwa kurikulum yang diterapkan telah mengakomodasi keinginan lembaga  untuk mengenalkan hingga menanamkan sikap toleransi beragama sejak usia dini. Hal ini disebabkan jenjang usia 5-6 tahun, lingkup perkembangan Nilai Agama dan Moral menjadi salah satu tingkat pencapaian perkembangan anak.  Pada masa itulah anak diharap mampu mengenal perbedaan agama orang lain dan menghormati agama lain. Dari hasil 43,99%  di atas cara paling efektif adalah dengan menyisipkan nilai-nilai menghargai perbedaan melalui pembiasaan-pembiasaan dalam setiap kegiatan.

Ketiga, Peran Guru. Perilaku toleransi anak muncul secara alamiah berdasarkan situasi maupun kondisi lingkungan dan dapat berkembang sesuai yang diharapkan dengan bimbingan. Sebagai sosok yang bertanggungjawab di sekolah, guru mendapat peran penting pada proses ini. Untuk mendapatkan materi yang adil dan berimbang, guru perlu dibagi antara guru kelas dan guru agama. 

Guru kelas betugas secara khusus pada pembelajaran masing-masing kelas dari awal hingga akhir jadwal harian. Guru kelas menyampaikan materi sekolah TK pada umumnya, hanya saja terdapat sebagian materi nilai menghargai perbedaan (toleransi) yang disisipkan guru pada kegiatan belajar anak. Di antaranya; membimbing anak agar saling menghargai perbedaan isi doa, membimbing anak agar saling menghargai perbedaan tata cara berdoa, membimbing anak agar saling menghargai perbedaan simbol agama, memberikan pemahaman kepada anak mengenai konsep halal dan haram, serta membimbing anak untuk memahami perbedaan Tuhan yang disembah. 

Adapun guru agama, adalah guru yang melakukan pembinaan materi keagamaan. Guru Agama melaksanakan tugasnya dengan jumlah tatap muka sebanyak lima kali dalam seminggu. Dengan perincian, sebanyak satu kali dalam jadwal Agama dan empat kali dalam jadwal Religius. Artinya anak memiliki waktu yang lebih banyak dalam bentuk pengamalannya, tidak fokus pada materi agama saja. 

Pada sekolah yang di dalamnya terdiri dari anak dengan agama yang berbeda-beda, guru agama memiliki peran yang amat penting. Dalam hal ini, masing-masing guru agama senantiasa memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pembiasaan sikap maupun perilaku toleransi beragama. Selain agar agar anak mendapatkan materi keagamaan yang memadai, pembagian guru agama dan guru kelas ini juga dibutuhkan agar tidak terlalu menitikberatkan pada satu sudut pandang agama saja. Setiap anakpun bisa melihat perbedaan-perbedaan yang dimiliki antar siswa dan guru kelas kemudian menjadi penengah melalui bimbingan-bimbingan.

Keempat, Peran Orang Tua. Orang tua memiliki peran untuk menyamakan persepsi pada setiap awal tahun pelajaran, membangun komitmen terhadap kesepakatan yang telah dibuat, dan berperan serta dalam kegiatan implementasi toleransi beragama. Tatkala komponen sekolah; guru dan perangkatnya, sudah membimbing sedemikian rupa di sekolah, maka tugas orang tua selanjutnya adalah meneruskan atau menjaga pengayaan tersebut. Orang tua bisa bertanya dan meminta pendapat kepada anaknya tentang perbedaan-perbedaan yang ia dapatkan di sekolah. 

Orang tua bisa juga ikut berperan aktif memantau kegiatan dan perkembangan anak bersama sekolah. Misalnya dengan terhubung grup khusus diskusi melalui aplikasi WhatsApp Messenger. Diskusi itu bisa menjadi media menarik guna memunculkan ide-ide baru untuk kegiatan anak sekolah selanjutnya. Misalnya yang pernah dilakukan TK Negeri Pembina Karangmalang dalam agenda menjaga nilai toleransi bersama, yakni menghias telur pada saat Paskah dan menulis kartu ucapan lebaran pada saat hari Lebaran.

Empat komponen di atas dinilai cukup baik dalam menanamkan toleransi kepada anak usia dini. Tentu dengan melakukan evaluasi dan monitoring dari pihak pendidikan terkait secara bertahap. Selain sinergitas antar empat komponen ini, yang juga dibutuhkan adalah pengkajian lebih lanjut mengenai perbandingan konsep-konsep pembinaan toleransi beragama pada lembaga negeri dan swasta, baik swasta Islam maupun Non-Islam. Selain itu juga dibutuhkan pelatihan peningkatan kompetensi bagi guru dalam melaksanakan pembinaan toleransi beragama di sekolah-sekolah lainnya. (Sufyan/Kendi Setiawan)

#muslimsejati

Continue Reading...