Oleh Wahyu Noerhadi
Satu tempo, saya berjumpa, ngopi, dan ngobrol ngidul-ngalor-ngetan-ngulon dengan
seorang kawan dari NU Online. Dari obrolan sore hari itu, ada
satu topik (cerita) yang hingga kini masih terpatri dalam batok kepala saya.
Kawan saya yang wartawan itu berkisah, pada saat ia melakukan peliputan tentang
Hari Raya Imlek atau Tahun Baru China, ia bersua dengan seorang kakek tua
penjaga Hok Tek Bio di kampungnya, di Cirebon. Dan ketika ia mengenalkan bahwa
dirinya adalah wartawan NU Online, katanya, kakek tua itu tiba-tiba
menampakkan wajah yang semringah dan terkesan begitu karib. Kata kawanku, sang
kakek tersenyum lebar hingga tampaklah beberapa gigi yang sudah tanggal.
Setelah berkenalan dan kawanku sudah mendapatkan bahan
berita, kawanku mengungkapkan, si kakek bercerita atau tepatnya berharap,
benar-benar berharap pada Nahdlatul Ulama (NU) agar senantiasa mampu menjaga
keutuhan NKRI. Kakek itu berharap agar NU selalu mampu mengawal persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang besar. Kata kawanku, yang terus
diingat olehnya itu ialah saat si penjaga kelenteng menyampaikan rasa
terimakasihnya kepada NU sebagai Ormas yang sampai saat ini selalu menebar
kedamaian.
"Islam yang rahmatan lil ‘alamiin,"
kata kawanku pada si kakek.
Selanjutnya, satu tempo yang lain, di kantin kampus,
saya bercakap-cakap dengan seorang kawan baru yang awalnya saya kira dia itu
muslim, dan ternyata Katolik. Percakapan bermula ketika kami menuju kantin, dan
kawan kelas saya itu berkata sambil menyenggol tubuh saya dengan sikunya,
"Kader muda NU, ya?" Saya pun kaget.
Mengapa dia tiba-tiba bertanya begitu? Saya membatin.
Ah ya, di dalam kelas, waktu perkenalan, saya menyebutkan bahwa saya
bantu-bantu di sebuah lembaga di PBNU.
"Mmm, NU kultural, Bung. Hehe," sanggah
saya, yang kemudian berpikir setelahnya bahwa NU itu memang dibangun dari
kultur.
"Bung, gue seneng lihat kader-kader muda NU yang
rajin meng-counter radikalisme dan mengampanyekan kesatuan Republik
Indonesia. Gue percaya bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan perdamaian,
bukan kekerasan dan perpecahan, termasuk agama Islam. Maka itu, gue juga kurang
sepakat tuh adanya Islamophobia di Barat sana. Anggapan mereka tentang Islam
gue kira sangatlah subjektif. Mereka belum paham betul bagaimana Islam di
Indonesia. Mereka mungkin tak pernah mendengar cerita tentang orang-orang Islam
yang menghajar penjajah di Surabaya. Meski dengan kalimat-kalimat Islam, gue
pikir, semangat kebangsaanlah yang digaungkan sama Bung Tomo waktu itu, buat
ngusir penjajah dan untuk kemerdekaan Indonesia," jelasnya di hadapan muka
saya yang hanya manthuk-manthuk saja mencerna ucapannya.
Saya mencerna bahwa kawan saya yang berkacamata bundar
itu sedang bicara soal peristiwa 10 November 1945 atau yang juga kita kenal
dengan Pertempuran Surabaya, yang semangatnya lahir dari Fatwa Resolusi Jihad
Founding Father NU, Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober
1945.
Bagi saya, pada peristiwa 10 November yang kini
diperingati sebagai Hari Pahlawan itu, sumbangsih kiai seperti KH Hasyim
Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Mas Mansur, KH Wahid Hasyim, serta
santri-santrinya amatlah besar. Bung Tomo, TKR (Tentara Keamanan Rakjat), etnis
Tionghoa, dan laskar santri Hizbullah-Sabilillah bertempur dengan 30 ribu
pasukan Britania Raya. Saya pikir, itulah persatuan Indonesia!
"Gue serius, Bung, NU harus berdiri tegap melawan
radikalisme Islam. Gue agak khawatir juga dengan aksi-aksi itu, Bung. Jangan
sampai deh Islam nantinya mengalami zaman kegelapan, di mana dominasi agama
begitu kuat masuk ke ranah politik. Jangan sampai agama dijadikan alat untuk
berbuat semena-mena, mengawasi dan menghukum siapa saja yang diangap sesat.
Tapi gue rasa aksi-aksi entu hanya politik belaka dan sifatnya sementara.
Bentar lagi juga reda. Tapi kalo ampe NU turun ke jalan bareng
mereka, lha itu udah bahaya. Harapan gue sih, NU juga
Muhammadiyah bisa konsisten dan komitmen buat jaga
keutuhan NKRI," ungkapnya.
Saya menanggapinya dengan tersenyum. Dan, tiba-tiba
teringat Gus Dur. Ya, kita tahu, Gus Dur itu berdiri di atas semua golongan;
dekat dan terdepan membela minoritas, Contohnya terhadap etnis Tionghoa. Kita
mafhum, pasca tragedi Mei 1998, Gus Dur—yang saat itu masih menjabat sebagai
Ketum PBNU—menyerukan kepada warga Tionghoa yang berada di luar negeri agar
balik lagi ke Indonesia. Dan, Gus Dur menjamin keselamatan mereka. Gus Dur
pulalah, melalui Keppres No. 6 tahun 2000, yang mengubah tanggal Tahun Baru
Imlek menjadi tanggal merah, hingga kita pun bisa berleha-leha di rumah.
Terbitnya Keppres itu bikin banyak orang
terheran-heran. Bahkan bikin kaget sendiri Budi Tanuwibowo selaku Sekretaris
Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. Budi kaget karena
proses terbitnya Keppres itu terbilang cepat (Kompas, 7 Februari
2016).
Gus Dur memang kerap disebut sebagai presiden yang
nyeleneh dan kontoversial. Padahal, kata guru ngaji saya, Gus Dur itu ibarat
lokomotif Jepang yang super cepat, sedang kita masyarakat Indonesia adalah
gerbong kereta ekonomi Indonesia. Tentunya banyak dari kita yang terseok-seok
mengikuti laju pemikiran Gus Dur. Hal itu terbukti ketika pada akhirnya Gus Dur
dijuluki Bapak Bangsa, tokoh pluralis ataupun humanis. Meskipun cukup sulit
juga menyematkan atau menyebut Gus Dur dengan satu-dua gelar atau title.Wong Gus
Dur sudah manusia yang manusia; yang memanusiakan manusia. Gus Dur itu
mengajarkan kebangsaan; mengajak kita untuk menjadi bangsa Indonesia yang
kafah, yang utuh; menunjukkan hakikat persatuan dan kesatuan bangsa,
sebagaimana amanat salah satu butir Pancasila, sebagai dasar berdirinya
Republik Indonesia.
Ya, andai saja Gus Dur masih ada. Harapan kakek tua
penjaga kelenteng dan harapan kawan katolik saya bakal langsung dijawabnya:
"Berapa pun besar biaya dan resikonya, NU akan menjaga keutuhan
NKRI." Harapan saya, (sifat, sikap, dan pemikiran) Gus Dur tetap ada di
relung-relung batin dan kepala kita, terutama pada anak-anak muda NU atau
generasi milennial macam saya.
Tidak hanya lewat Gus Dur, selaku tokoh NU dan Bapak
Bangsa, kepada tokoh-tokoh NU lain seperti Mbah Moen, (Mbah) Gus Mus, Kiai
Said, Habib Luthfi, dan kiai-kiai lainnya kita bisa belajar. Belajar mematrikan
paham hubbul wathon minal iman Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asya’ari kepada ranah
rasa. Hingga cintanya betul-betul pada Indonesia. Ya, rasa cinta pada Tanah Air
bagian dari iman. Menurut Gus Mus, tidak ada alasan untuk tidak mencintai
Indonesia; kita lahir, hidup, dan bahkan mungkin mati nanti ada di Bumi
Pertiwi.
Kemudian, Kiai Said pun sering mengungkapkan bahwa
hanya di Indonesia ada kiai yang nasionalis dan nasionalis yang kiai. Tidak ekstrem
kanan tidak juga ekstrem kiri, tapi di tengah-tengah dengan menjadi Indonesia,
sebagaimana prinsip NU sendiri, yakni tawazun (proporsional),
selain dua prinsip lain: tasamuh(toleran) dan tawasuth (moderat).
Ketiga prinsip itulah yang saya pikir perlu ada
dihayati betul oleh warga Nahdliyyin pada khususnya dan warga Indonesia pada
umumnya. Selain itu, di tengah radikalisme dan modernitas yang terus merongrong
manusia kita, maqolah masyhur di NU, "Almuhafadhoh alal qodimis solih
wal akhdu bil jadidil aslah," atau "Memelihara yang
lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik" harus terus
ada pada benak kita.
Saya kira itulah harapan (mimpi) saya, yang mungkin
harapan kita semua untuk Indonesia, yang di dalamnya NU tumbuh dan berkembang;
menjaga-mengawal jargon #NKRIHargaMati. Ya, harapan saya sebagai generasi
milenial memang tak muluk-muluk, NU dan Indonesia harus seperti ini atau harus
seperti itu. NU atau Indonesia harus sebagaimana adanya, sebagaimana mestinya,
sebagaimana cita-cita para pendirinya; sebagaimana harapan mereka (para
pendiri) kepada kita, selaku penerusnya.
Penulis adalah pegiat sastra dan literasi, kini diembani amanah mengelola
nucare.id.
#MuslimSejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar