Jakarta, NU Online
Beberapa hari menjelang hari raya
Idul Fitri, terjadi aksi bom bunuh diri di sebuah pos pantau Polisi di
Kartasura, Jawa Tengah. Dari caranya melakukan aksi yang sendirian, pengamat
terorisme yang juga Sri Yunanto menyebut aksi tersebut bagian dari fenomena lone
wolf atau aksi terorisme yang dilakukan sendirian akibat
teradikalisasi secara online. Walau begitu, ia juga menyebut kemungkinan
hubungan pelaku dengan jaringan teroris seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD)
sebelum kemudian teradikalisasi secara online.
Staf ahli Menkopolhukam ini juga
mengatakan bahwa fenomena radikalisasi online ini tak lepas dari banyaknya
konten media sosial yang mempromosikan radikalisme dan terorisme, yang
sejatinya sudah terjadi sejak dulu. “Radikalisasi secara online itu sebenarnya
bukan fenomena baru. Dulu ada kasus Alam Sutra dan penyerangan gereja di Medan.
Itu termasuk self radicalization,” katanya di Jakarta.
Jika ditarik lebih jauh, salah satu
akar masalahnya adalah kurang terlibatnya pemilik platform media sosial dalam mengantisipasi
banyaknya konten pro radikalisme kekerasan dan terorisme. “Inilah masalahnya
karena yang menanggung beban negatif itu pemerintah, sementara penyedia
platform enak-enak saja. Seperti di Youtube, kalau tayangannya banyak dapat
iklan pasti mereka untung, sementara kalau ada konten tentang radikalisasi ini
mereka cuci tangan, baru pemerintah yang take down,” ungkap pakar
Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Indonesia ini.
Sebagai solusi, Yunanto mengusulkan
agar penyedia platform dan pemerintah membuat agenda bersama untuk
mengatasinya. Ia mencontohkan sebuah aturan yang diberlakukan di Jerman;
penyedia platform yang memuat konten negatif akan dikenakan denda yang berat
hingga sekitar 6 miliar rupiah. Aturan itu efektif sejak diberlakukan dan dapat
mengerem berkembangnya konten negatif terutama konten yang mengampanyekan
terorisme.
“(Di Jerman) kalau platform tetap
seenaknya dengan tidak melakukan screening terhadap konten,
mereka pasti akan bangkrut kena denda. Saya rasa, cara itu bisa diterapkan di
Indonesia,” tuturnya.
Sebab, tanpa keterlibatan pemilik
platform, pemerintah akan kesulitan menangkal derasnya konten yang diproduksi
masyarakat tersebut. Dampak luasnya, masyarakat akan ‘dicekoki’ konten-konten
radikalisme tersebut.
Apabila penyedia platform bersedia
melakukan screening terhadap konten-konten mereka, tentu akan
memudahkan pemerintah dalam mewaspadai radikalisasi melalui media sosial.
Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator bisa memperkuat pengawasan dan
pengaturan di media sosial. Selain dua lembaga itu, ia yakin institusi
keagamaan juga perlu dilibatkan dalam memerangi radikalisme dan terorisme,
karena bertentangan dengan nilai agama yang mengutamakan rahmat bagi semua
orang.
“Kalau tiga-tiganya bersinergi Insya
Allah bisa kita tekan cybercrime termasuk extra
ordinary crime berupa ideologisasi, radikalisasi, dan berbagai hal
negatif di medsos,” pungkas Sri Yunanto.
Pemerintah saja tak cukup
Hal senada juga diungkapkan Pengamat
Intelijen dan Terorisme, Wawan Hari Purwanto. Menurutnya aksi Pemerintah
melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan berbagai cara
untuk membendung radikalisme online tak cukup efektif tanpa adanya filter dari
penyedia platform.
Penyedia platform media sosial
(medsos) seperti Youtube, Facebook, WhatsApp, dan lain-lain, harus lebih aktif
bertanggungjawab terhadap terjadinya radikalisasi via medsos. Sehingga
konten-konten yang mengandung kampanye ajakan untuk melakukan aktivitas
radikalisme kekerasan dan terorisme tidak sampai 'lapas' tersebar ke
masyarakat.
“Penyedia medsos ini juga perlu ikut
bertanggungjawab. Mereka seharusnya bisa memfilter sebelum konten radikal
tersebut tersebar ke masyarakat. Apalagi masalah terorisme ini termasuk dalam
katagori extraordinary crime,” ujar Wawan Hari Purwanto, di Jakarta, Kamis
(13/6).
Menurutnya, radikalisasi via online
melalui medsos sudah menjadi ancaman nyata dan sangat serius sehingga perlu
diwaspadai. Karena bagi kelompok radikal terorisme ini media sosial merupakan
sebuah sarana yang efektif digunakan untuk merekrut dan melakukan indoktrinasi
karena jangkauan yang luas.
“Dari beberapa kasus banyak pihak
terpapar melalui medsos. Bai’at yang mereka (kelompok teroris) sekarang juga
sudah via medsos. Bahkan mereka juga bisa melakukan tanya jawab jika mereka
mengalami kesulitan dalam membuat bahan peledak. Sehingga rekrutmen sekarang
ini tidak perlu tatap muka lagi,” ungkap Wawan.
Lebih lanjut, Wawan mengatakan,
dalam pengamatannya sejauh ini pergerakan kelompok-kelompok radikal seperti JAD
yang sudah dibubarkan oleh pemerintah itu masih eksis untuk menyebarkan paham
radikal melalui medsos.
“Meski JAD tidak terdaftar sebagai
ormas resmi di Indonesia, sehingga dibubarkan atau tidak, tetapi mereka tetap
bisa melakukan gerakan teror dan rekrutmen. Bahkan nama juga relatif bisa
berganti sesuai dengan keinginan mereka. Jadi kenyataannya sekarang JAD ini
masih eksis dalam penyebaran gerakan radaikal via medsos,” ujarnya.
Ia sekaligus meminta peran pemerintah melalui Kemkominfo
agar terus membatasi ruang gerak penyebaran paham radikal terorisme ini melaui
medsos. “Peran pemerintah via Kemkominfo sangat diperlukan, sebab
Kemkominfo punya otoritas untuk memblokir, melakukan take down, meng-counter,
memutilasi dan lain-lain atas permintaan Kementerian ataupun Lembaga lain
ataupun tuntutan masyarakat,” ujarnya.(Red: Ahmad Rozali)
#Muslimsejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar