Fenomena maraknya hoaks, ujaran
kebencian, hasutan bernuansa SARA, hingga ajakan melakukan tindakan radikal
kekerasan dan terorisme berdampak begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari
kita. Fenomena itu tidak hanya terjadi di ruang privat atau dalam sebuah
pertemuan kelompok tertentu. Akan tetapi hal semacam itu dapat ditemukan hingga
ruang publik seperti mimbar agama terutama dalam momentum politik.
Lebih-lebih saat ini, di mana
fenomena buruk itu bisa diproduksi dan disebarkan dengan begitu mudah melalui
website dan platform jendela media sosial. Sebuah studi berjudul ‘Sosial Media,
Kebencian Siber dan Rasisme’ menemukan bahwa platform media sosial oleh
sebagian orang dimanfaatkan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan radikalisme
di dunia maya. Keberadaan konten di dunia maya bernuasa negatif tersebut
memiliki kaitan yang erat dengan keadaan sosial-politik yang sedang berkembang
di masyarakat (K. Amin, 2017).
Dampaknya tak main-main. Anggota
Ombudsman, Ahmad Suaedy menilai, fenomena itu tidak hanya berdampak buruk pada
komunikasi di dunia maya saja, tapi lebih dari itu, ia merusak ruang terkecil
dalam masyarakat, seperti hubungan antaranggota masyarakat, pertemanan hingga
keluarga. Dampak lebih jauh yang bisa diakibatkan oleh fenomena itu adalah
rusaknya persaudaraan berbangsa di berbagai dimensi, baik masyarakat umum
seperti tetangga, di antara rekan kerja, dan seterusnya.
Melihat besarnya dampak buruk yang
terjadi, sudah sepatutnya semua stakeholder baik kalangan pemerintah,
masyarakat dan kelompok swasta terlibat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan dampak buruk dari fenomena tersebut.
Pemerintah Indonesia nampaknya
memberi perhatian cukup serius pada masalah ini. Setidaknya ada dua kategori
yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga dan kementerian; pertama adalah
aksi pemberantasan konten dan platform penyedia konten negatif, yang kedua
adalah berupaya memenuhi konten media sosial dengan konten positif.
Kementerian Komunikasi dan Informasi
misalnya melakukan penyaringan dan pengaisan pada konten bermuatan negatif di
dunia maya. Kementerian ini dalam laman resminya menyatakan telah mengguanakan
sebuah mesin pengais yang dinamai AIS yang harganya mencapai Rp 200 miliar
rupiah yang secara resmi dioperasikan pada Desember 2018 untuk mengais konten
negatif, termasuk pula konten pornografi. Tak lama setelah pengoperasian, dalam
laporannya pada akhir Desember 2018 sebanyak 984,441 konten yang berhasil
disaring, termasuk sejumlah website yang memuat konten tersebut.
Agenda kedua yakni upaya memenuhi
konten media sosial dengan konten positif juga dilakukan pemerintah. Pada
program ini aktor pemerintah cukup banyak. Selain Kemkominfo yang bekerja sama
dengan sejumlah lembaga dalam SiberKreasi, ada pula Badan Nasional Penanggulangan
Terosisme yang melakukan pengkaderan terhadap ratusan orang melalui Duta Damai,
serta program serupa dari sejumlah lembaga dan kementerian lain.
Secara umum, mayoritas program kedua
pemerintah berupa melibatkan kelompok millennial dalam sejumlah program
tersebut baik dalam pelatihan literasi digital, menangkal hoaks, membuat konten
positif dan seterusnya. Pelibatan kelompok muda secara spesifik dikarenakan
kelompok ini merupakan kelompok paling aktif di dunia maya terutama media
sosial. Menurut data dari Asosiasi Pengguna Jaringan Internet tahun 2017
sekitar 75 persen dari penduduk berusia 13 hingga 34 tahun merupakan pengguna
internet.
Dalam hal menjalankan programnya,
pemerintah juga melibatkan kelompok sosial kemasyarakatan secara seksama. Pada
tahap ini, stakeholder seperti lembaga kemasyarakatan dan keagamaan bersama
dengan pemerintah mengambil peran dalam menyampaikan informasi dan edukasi pada
masyarakat melalui anggotanya masing-masing.
Namun itu saja tidak cukup. Kelompok
lain seperti pihak swasta juga perlu terlibat dalam masalah ini. Guru Besar
Sosiologi Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, Iwan Gardono Sujatmiko mengatakan pihak lain seperti perusahaan juga
perlu turun tangan lebih jauh dalam mengatasi masalah ini. Perusahaan melalui
program yang didesain dari dana Corporate Social Responsibility-nya juga
perlu diarahkan pada penyelesaian masalah ini.
Menurut Iwan Gardono Pekerjaan ini
bisa dikerjakan bersama lembaga pendidikan level sekolah hingga perguruan
tinggi di sekitar perusahaan. Sehingga bisa berdampak langsung pada peningkatan
kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menghadapi bahaya konten negatif yang
bahkan bisa menebar bibit-bibit radikalisme di dalamnya.
“Semua pihak seperti sekolah,
pemerintah dan bahkan televisi harus memberikan edukasi yang positif,
tayangan tentang budi pekerti. Televisi inikan banyak program acaranya, hiburan
boleh, tetapi kan tidak hanya tayangan hiburan saja. Karena tayangan tentang
budi pekerti ini akan membangkitkan karakter anak untuk bisa membangun
perdamaian juga,” ujarnya.
Nampaknya, sebagaimana temuan di
atas, fenomena ujaran kebencian, hoaks, dan rasisme akan menguat setiap kali
momentum politik tiba. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak buruk dari
fenomena terssebut, sudah seharusnya semua orang dari berbagai kalangan sadar
akan bahaya fenomena ini dan bersama-sama menangkalnya melalui kapasitasnya
masing-masing.
Penulis adalah redaktur NU Online
#Muslimsejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar