Harakatuna.com. Jakarta- Propaganda yang mencampuradukan antara politik dan agama
hingga kini masih berlangsung di Indonesia. Propaganda tersebut disinyalir akan
semakin kuat menjelang perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019
mendatang.
Staf
Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Benny
Susetyo, mengingatkan, propaganda yang mempolitisasi simbol-simbol agama sangat
berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Biasanya propaganda semacam itu
muncul sebagai akibat dari ketidakseimbangan kompetisi.
“Propaganda
terjadi ketika kompetisi tidak seimbang, calon merasa dirinya tidak mampu,
tidak punya program, atau rencana kerja. Yang paling mudah mengaduk emosi
adalah agama,” kata Romo Benny, dalam diskusi “Pilpres dan Politisasi Simbol
Agama” di Jakarta, Kamis (4/4/2019).
Menurut
Romo Benny, saat ini politisasi simbol-simbol agama tidak hanya terjadi di
Indonesia. Namun juga terjadi di negara-negara lain, termasuk negara-negara
yang akhirnya luluh lantah akibat perang saudara.
“Sekarang
terjadi politik pembelahan, sehingga secara ideologis terjadi pemecahan.
Sekarang antar pertemanan jadi konflik gara-gara agama digunakan sebagai alat
politik. Ini sangat berbahaya,” ungkap Romo Benny.
Saat
ini, Romo Benny mengingatkan, penting bagi media arus utama untuk mengajak
masyarakat memiliki budaya kritis. Yakni bagaimana media mendidik masyarakat
dengan tidak lagi menggunakan politisasi agama.
“Kemudian
menurut saya KPU dan Bawaslu harus keras. Tindak pihak-pihak yang menggunakan
rumah ibadah sebagai alat politik. Ketegasan penting, karena selama KPU dan
Bawaslu tidak tegas, maka kita akan menghancurkan masa depan kita yaitu sila
ketiga persatuan,” ujar Romo Benny.
Ketua
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU, Rumadi
Ahmad, menilai, politisasi agama sering dipakai sebagai instrumen untuk
mendapat kekuasaan politik. Akibatnya, akan berimplikasi pada agamanisasi
politik.
“Yang akan dimunculkan dari proses itu adalah
menjadikan pilihan politik seperti pilihan keagamaan. Politik seperti surga dan
neraka, pahala dan dosa, jalan terang dan gelap. Politisasi agama dan
agamanisasi politik dua hal yang sama buruknya,” kata Rumadi.
Rumadi
menambahkan, ketika agama menjadi persoalan simbolik dan emosi, kondisi inilah
yang kemudian akan membawa orang pada pertikaian. “Seseorang menjadi lupa akan
substansi agama itu sendiri,” tandas Rumadi.
Saat
ini, kata Rumadi, tidak mungkin orang Indonesia atau orang Islam melepaskan
agama dari politik atau sebaliknya, karena perkembangan Islam di nusantara
tidak pernah lepas dari politik.
“Di Indonesia sendiri,
politisasi agama sudah bisa dilihat. Bahkan, sekarang sudah cenderung
agamanisasi politik. Kalau orang terjatuh pada agamanisasi politik, maka
pilihan orang pada capres A atau B bukan lagi urusan politik duniawi, tapi
sudah jadi urusan surga dan neraka, jalan sesat atau terang,” pungkas Rumadi.
#Muslimsejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar