– Beberapa waktu silam, banyak warga dari suku kurdi dibakar hidup-hidup oleh anggota ISIS. Selang beberapa waktu kemudian, seorang pilot berkewarganegaraan Yordania dibakar secara membabi buta oleh jaringan yang sama dan disebarkan lewat media sosial. Kekejaman demi kekejaman dilakukan demi untuk menimbulkan kengerian di mata dunia. Sayangnya lagi, jaringan ini melandaskan aksi-aksi kejahatannya kepada teks-teks agama yang dipelintir maknanya agar sesuai dengan hasrat mereka untuk membunuh manusia sebanyak-banyaknya sampai menerima negara khilafah yang mereka tegakkan.
Salah satu sandaran yang mereka jadikan rujukan ialah riwayat pembakaran kaum murtad oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam literatur sejarah Islam dan literatur hadis, akan kita temukan bahwa di antara empat khalifah rasyidah, Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah yang paling banyak memerangi kaum murtad, penyembah berhala dan simpatisan fanatiknya dengan cara membakar secara massal. Praktik ini kita temukan dalam Sahih al-Bukhari dan beberapa kitab hadis lainnya dengan berbagai macam jalur periwayatan dan narasi kisah.
Yang pertama ialah riwayat Ikrimah, dalam riwayat ini Ali dinarasikan telah membakar orang-orang yang murtad dari Islam (Sahih al-Bukhari dan Sunan Abu Dawud no. 4351). Yang kedua, dalam riwayat Anas bin Malik, Ali dikabarkan telah membakar orang-orang az-Zuth yang menyembah berhala (Sunan an-Nasa’i 2/302 no. 3528).
Yang ketiga, riwayat Suwaid bin Ghaflah, dalam riwayat ini Ali dikisahkan telah membakar orang-orang zindiq di pasar (Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf 10/141 dan 12/391-392; Musnad al-Bazzar 2/238 No. 523; al-Baihaqi, Ma’rifat as-Sunan wal al-Athar no. 5289).
Yang keempat, riwayat Ubaid bin Nisthas, dalam riwayat ini dikabarkan Ali telah membakar para penyembah berhala (Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf 10/142 dan 12/392). Yang kelima, riwayat yang berasal dari Syarik al-Amiriy, dalam riwayat ini dikisahkan Ali telah membakar orang-orang yang telah menuhankannya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari 12/270).
Paling tidak dengan narasi yang berbeda-beda ini, hadis-hadis di atas dapat menimbulkan dua aras persoalan; pertama, problem penafsiran dan pemaknaaan atas aktualitas dan faktualitas peristiwa dan kedua, problem jalur periwayatan, yakni hal-hal yang berkaitan dengan illat pada sanad dan matan hadith.
Tulisan ini hanya akan fokus mempersoalkan aras persoalan yang pertama, yakni problem penafsiran dan pemaknaan, sedikitnya ada dua persoalan yang mengemuka, yaitu apakah narasi yang berbeda-beda ini, yakni (1) riwayat Ali membakar orang-orang murtad, (2) riwayat Ali membakar para penyembah berhala dari az-Zuth, (3) riwayat Ali membakar orang-orang zindiq di pasar, (4) Ali membakar para penyembah berhala (selain az-Zuth) (5) riwayat Ali membakar orang-orang yang telah menuhankannya, merupakan satu riwayat kejadian pembakaran yang sama dengan versi yang berbeda-beda ataukah riwayat yang masing-masingnya berbeda secara ruang dan waktu.
Kalau peristiwa pembakaran ini merupakan satu riwayat kejadian yang sama dengan versi yang beda-beda antar periwayat informasinya, bisa dipastikan bahwa informasi pembakaran oleh Ali bin Abi Thalib ini masih simpang siur dan mungkin dapat disebut sebagai desas-desus yang tidak ada justifikasinya dalam dunia nyata. Ini persoalan yang pertama.
Persoalan kedua, jika satu riwayat menarasikan satu peristiwa pembakaran yang berbeda secara ruang dan waktu, persoalannya terletak pada apakah riwayatnya dinarasikan secara mutawatir atau secara ahad. Misalnya, pada peristiwa pembakaran orang-orang zindiq di pasar, seharusnya peristiwa ini dikenal publik secara luas dan diriwayatkan banyak orang yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Namun sayangnya, dari kepopuleran kisah pembakaran ini dan dari banyaknya saksi yang melihatnya di pasar, hanya Suwaid bin Ghaflah satu-satunya orang yang meriwayatkannya. Peristiwa pembakaran di pasar ini jelas tidak meyakinkan dan seharusnya diriwayatkan secara mutawatir mengingat pasar ialah tempat keramaian dan semua orang tentu tahu tentang kejadian tersebut.
Dengan kasus ini, informasi yang diriwayatkan Suwaid bin Ghaflah bersifat ahad dan konsekwensinya, informasinya dinilai tidak meyakinkan sejujur apapun tingkatan keadalahan periwayatnya (lihat misalnya pandangan ulama hadis dan usul fikh terkait kepastian secara epistomologis antara riwayat mutawatir dan ahad). Hal demikian juga berlaku kepada riwayat-riwayat lainnya. Bahkan jika ditilik ulang, riwayat-riwayat dari Ikrimah, Anas bin Malik, Ubaid bin Nisthas menunjukkan bahwa mereka hanya mendengar kabar dan tidak menyaksikan peristiwa secara langsung dan karena itu mereka bukan saksi mata peristiwa pembakaran.
Jadi persoalan menyaksikan secara langsung dan tidak langsung ini pun menjadi bahan pertanyaan bagi kebenaran informasi tentang peristiwa pembakaran orang-orang murtad, zindiq dan sejenisnya oleh Ali bin Abi Thalib. Selain Suwaid bin Ghaflah, ternyata para periwayat peristiwa pembakaran tidak menyaksikan secara langsung (persoalan langsung atau tidak langsung ini akan diperdalam lagi di bagian kedua tulisan ini).
Selain itu, kalaupun memang peristiwa pembakaran ini benar-benar terjadi dan dieksekusi oleh Ali bin Abi Thalib, persoalan selanjutnya terletak pada status sahabat sebagai sumber legislasi hukum pembakaran. Dalam literatur Usul Fiqih, akan ditemukan bahwa kebanyakan ulama tidak menjadikan amalan sahabat sebagai sumber bagi legislasi hukum. Dan karenanya, ketika ISIS dan jaringan teroris lainnya melandaskan aksi-aksi kekejaman mereka kepada praktik Ali bin Abi Thalib ini, jelaslah bahwa yang mereka lakukan tidak legitimatif dan tidak syar’iyy.
Di sisi lain, seharusnya, untuk mempertanyakan keabsahan suatu hukum atau peristiwa yang dianggap seolah sesuai dengan syariat Islam, kita perlu merujuk kepada dasar-dasar umum yang diletakkan oleh al-Quran, terutama tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. al-Quran menegaskan bahwa kebebasan beragama sangatlah dijamin dalam Islam berdasar kepada prinsip la ikraha fi addin. Selain itu, menghukum kaum zindiq dengan membakar jelas sangat bertentangan dengan sabda dan perilaku Nabi SAW.
Karena itu, hukuman yang diberikan Ali bin Abi Thalib (atau misalnya Abu Bakar as-Siddiq) terhadap kaum murtad, zindiq, penyembah berhala dan lain-lain dengan cara membakar mereka hidup-hidup, jika memang riwayat demikian benar adanya, seharusnya kita membacanya dalam kacamata al-Quran yang prinsip umumnya melarang ‘pemaksaan agama’ dan kacamata sirah kenabawiyan yang melarang memberikan hukuman dengan cara membakar.
Saya kira membaca apapun dengan cara yang quranik ini akan membuat kita menjadi kritis terhadap segala pemalsuan hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi dan para sahabatnya. Dan seperti yang dibuktikan dalam tulisan ini, jelasnya praktik pembakaran kaum murtad dan sejenisnya tidak pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib Alaihis-salam Allahu A’lam.
#muslimsejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar